Indonesia Kaya SDA, Tapi 82% Pendapatan Negara Masih dari Pajak: Sebuah Potret Salah Kelola
Indonesia secara geografis dan geologis adalah salah satu negara terkaya di dunia. Dari tambang emas Grasberg di Papua, cadangan nikel terbesar di dunia, batu bara di Kalimantan, minyak dan gas di Natuna, hingga hasil laut yang melimpah di Samudra Hindia dan Pasifik—semua ada di sini.
Namun, APBN 2024 mencatat fakta yang paradoks: 82% pendapatan negara berasal dari pajak rakyat, sedangkan kontribusi dari sumber daya alam (SDA) hanya sekitar 15–18%.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan fundamental:
-
Mengapa SDA yang melimpah tidak menjadi sumber utama pembiayaan negara?
-
Siapa yang sebenarnya menikmati kekayaan itu?
-
Dan apakah sistem saat ini masih sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945?
Komposisi APBN: Ketergantungan pada Pajak
Menurut data Kementerian Keuangan, APBN 2024 disusun dengan proyeksi pendapatan negara sekitar Rp 2.781 triliun, di mana:
-
Pajak: 82% dari total pendapatan.
-
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP)—termasuk SDA: hanya 15–18%.
-
Hibah dan lainnya: sisanya.
Artinya, mayoritas pembiayaan negara dibebankan pada individu dan badan usaha melalui pajak, bukan dari eksploitasi SDA yang seharusnya menjadi aset strategis nasional.
Struktur Pengelolaan SDA: Dikuasai Segelintir
Salah satu alasan rendahnya kontribusi SDA adalah struktur pengelolaan yang berat sebelah.
-
Tambang emas, nikel, batu bara, migas, dan hutan industri umumnya dikelola korporasi besar melalui izin konsesi jangka panjang.
-
Negara hanya memperoleh royalti dan pajak perusahaan, yang nilainya jauh di bawah potensi riil SDA.
Studi Kasus: Tambang Emas Grasberg
-
Sebelum divestasi 2018, 90% sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan (AS).
-
Nilai produksi emas dan tembaga mencapai miliaran dolar per tahun, namun penerimaan negara hanya sebagian kecil melalui pajak dan royalti.
-
Setelah divestasi, kepemilikan negara meningkat, tetapi sistem bagi hasil masih memunculkan kontroversi.
Masalah Hilirisasi: Nilai Tambah Hilang di Luar Negeri
Nikel dan batu bara menjadi contoh klasik lemahnya industrialisasi domestik:
-
Nikel: Diekspor dalam bentuk bijih mentah, diolah di luar negeri menjadi baterai, lalu dijual kembali ke Indonesia dengan harga berlipat.
-
Batu Bara: Mayoritas produksi diekspor ke Cina, India, dan Jepang, dengan porsi terbatas untuk kebutuhan domestik.
-
Kebijakan larangan ekspor mentah (2020) sempat memicu hilirisasi, tetapi dominasi perusahaan asing di sektor pengolahan tetap tinggi.
Potensi Laut dan Perikanan: Raksasa yang Tidur
Dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 6,4 juta km², Indonesia seharusnya menjadi kekuatan ekonomi maritim dunia. Namun kenyataannya:
-
Illegal fishing oleh kapal asing merugikan triliunan rupiah per tahun.
-
Nelayan tradisional kalah bersaing dengan kapal industri bermodal besar.
-
Investasi asing di sektor perikanan sering tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat pesisir.
Faktor Struktural: Mengapa SDA Gagal Jadi Sumber Utama
Beberapa penyebab utama rendahnya kontribusi SDA ke APBN:
-
Korupsi dalam pengelolaan SDA dan penerimaan negara.
-
Konsesi jangka panjang yang sulit dinegosiasi ulang.
-
Kurangnya transparansi data produksi dan penjualan SDA.
-
Lemahnya pengawasan terhadap kontrak kerja sama.
-
Kebijakan ekonomi ekstraktif yang lebih mengutamakan ekspor bahan mentah daripada hilirisasi.
Beban Ganda untuk Rakyat
Paradoksnya, rakyat tidak hanya membayar pajak, tetapi juga harus membeli komoditas seperti BBM, listrik, pupuk, dan pangan dengan harga tinggi—padahal bahan bakunya berasal dari SDA dalam negeri.
Dampaknya:
-
Daya beli menurun saat inflasi tinggi.
-
Ketimpangan ekonomi melebar antara elite pemilik SDA dan masyarakat umum.
-
Kesenjangan pembangunan antarwilayah semakin tajam.
Perspektif Hukum: Pasal 33 UUD 1945
Konstitusi Indonesia jelas menyatakan:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun, praktik pengelolaan saat ini sering bertentangan dengan amanat tersebut.
Selain Pasal 33, ada juga landasan hukum lain seperti:
-
UU Minerba (UU No. 4 Tahun 2009, diubah UU No. 3 Tahun 2020) yang mengatur pengelolaan tambang.
-
UU Perikanan (UU No. 45 Tahun 2009).
-
UU Migas (UU No. 22 Tahun 2001).
Sayangnya, implementasinya sering kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.
Rekomendasi Solusi Strategis
Untuk mengubah struktur pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada pajak, beberapa langkah krusial dapat diambil:
A. Reformasi Tata Kelola SDA
-
Audit menyeluruh semua kontrak konsesi.
-
Revisi bagi hasil agar lebih berpihak pada negara dan rakyat.
B. Hilirisasi dan Larangan Ekspor Mentah
-
Bangun industri pengolahan di dalam negeri.
-
Wajibkan transfer teknologi dari mitra asing.
C. Sahkan RUU Perampasan Aset
-
Menyita aset hasil korupsi SDA dan mengembalikannya ke kas negara.
D. Sistem Dividen Rakyat
-
Menyalurkan sebagian keuntungan SDA langsung ke rekening warga, seperti model Norway Sovereign Wealth Fund.
E. Transparansi Publik
-
Publikasi data penerimaan SDA secara real-time melalui platform resmi yang dapat diakses semua warga.
Kesimpulan
Indonesia bukan negara miskin. Kekayaan alam yang kita miliki bisa membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tanpa harus membebani rakyat dengan pajak setinggi sekarang.
Namun, tanpa reformasi struktural, korupsi yang diberantas, dan kontrak yang adil, kekayaan itu akan terus dinikmati segelintir elite dan investor asing. Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi kompas utama kebijakan, bukan sekadar teks konstitusi.
Bicara soal SDA adalah bicara soal masa depan kita semua.
-
Follow ConnectX di TikTok & Instagram: @getconnectx
-
Diskusi langsung di Telegram: @getconnectx
-
Tulis opinimu di getconnectx.com/story
-
Gabung forum komunitas di getconnectx.com/forum
I couldn\’t agree more! Your post is a valuable resource that I\’ll be sharing with others.
Thank you, for your kind words. I\’m committed to maintaining the quality of my posts.
I\’m so glad I found your site. Your posts are consistently excellent.